50 perwakilan Unit Pengumpul Zakat (UPZ) Yayasan se-Kota Bekasi melangsungkan Rapat Koordinasi (Rakor) di Kantor BAZNAS Kota Bekasi, Rabu, 15 Januari 2020.

Rakor yang berlangsung selama enam jam tersebut menjadi ajang dialog sekaligus sharing hal ihwal pengelolaan zakat di tubuh BAZNAS Kota Bekasi. Ketua BAZNAS Kota Bekasi H. Paray Said banyak menjelaskan sejarah serta pola kerja lembaga yang ia pimpin.

BAZNAS dibentuk berdasarkan UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Namun dalam implementasinya lembaga pelat merah tersebut baru muncul pada 2014, berdasarkan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU 23/ 2011.

“Karena ada tarik ulur wacana; sebagian kelompok berpandangan bahwa urusan zakat, atau ibadah pada umumnya, adalah wilayah domestik individu, negara tak perlu ikut campur. Tetapi untuk mengelola uang umat yang tidak sedikit, dan demi optimalisasi,  diperlukan lembaga khusus yang mengelola secara profesional,” kata Paray.

Nah, Unit Pengumpul Zakat (UPZ) dalam pandangan Peraturan BAZNAS No 2 Tahun 2016, adalah organisasi yang dibentuk BAZNAS di berbagai tingkatan untuk membantu pengumpulan zakat. Karenanya sesungguhnya UPZ tidak memiliki kewenangan untuk menyalurkan zakat.

Namun demikian, kata Paray, secara praktik UPZ tetap diperbolehkan mendistribusikan zakat fitrah sebesar 70 persen, sedangkan 30 persennya harus disetorkan ke BAZNAS. Hal tersebut disebabkan mepetnya waktu penyaluran zakat fitrah yang sudah harus dibagikan sebelum ied.

“Termasuk untuk UPZ yayasan, kami tidak meminta UPZ menyetorkan penghimpunannya, yang penting sampaikan laporan pengelolaannya; berapa penghimpunannya, disalurkan ke mana saja. Sebab itu [kontroling] bagian dari tanggungjawab BAZNAS Kota Bekasi,” ujarnya.

Sedangkan Wakil Ketua I BAZNAS Kota Bekasi Dr. H. Muhammad Aiz menjelaskan fiqih zakat. Menurutnya, ada perbedaan mendasar antara amil zakat dengan petugas/ panitia zakat. Dengan menyebutkan berbagai referensi kitab dari para ulama terkemuka, ia menyimpulkan bahwa amil adalah orang yang ditunjuk oleh imam/ pemerintah.

Mekanisme yang dibangun adalah: pemerintah mendelegasikan kewenangan menunjuk atau melegalkan status amil kepada Kementerian Agama (untuk LAZ) dan BAZNAS (untuk UPZ). Jadi, apabila ada pihak lain yang memberikan legalitas selain Kemenag atau BAZNAS, maka status pengelola zakat adalah petugas/ panitia, bukan amil.

“Konsekuensinya adalah jika tidak punya legalitas, tidak punya SK, maka statusnya bukan amil, jadi tidak bisa mengambil hak amil,” tegas Aiz. “Persentase hak amil,  maksimal 12,5 persen, dan itu bukan hanya untuk gaji, tapi sudah buat semua, termasuk operasional lembaga.”

Pengasuh Ponpes Annida Al Islamy itu juga menjelaskan cara menghitung zakat. Untuk zakat fitrah ia mengimbau agar apabila pembayaran zakat menggunakan uang, pakai cara perhitungannya Imam Hanafi: bukan 2,5 kg (atau 3,32 liter), tapi 4,5 liter. Jangan sampai bayarnya pakai cara Imam Hanafi, tapi penghitungannya pakai cara Imam Syafii.

Kemudian untuk zakat profesi, nishabnya adalah 85 gram emas dikali Rp600 ribu (harga 1 gram emas) = Rp51 juta, dibagi 12 bulan = Rp4.250.000. Maka orang yang sudah berpenghasilan minimal Rp4.250.000, wajib menyisihkan 2,5 persen hartanya untuk dizakatkan. (sbi)